… tak inginkah kau duduk di sampingku? kita bercerita tentang laut biru,
disana harapan dan impian. Benci, benci tapi rindu, oh memandang wajah
dan senyummu sayang. Rindu, rindu tapi benci jua bila ingat kau sakiti
hatiku. Antara benci dan rindu di sini, kau buat mataku menangis.
Melodi lawas itu cukup untuk melukiskan jeritan hatiku, sengsara dalam derita, kecewa karena cinta. Tak seindah yang aku bayangkan, cintaku disia-siakan, pemberianku diremehkan.
Pulang membawa rindu, ingin bertemu pada dia yang selalu membuatku sendu mendayu. Aku bawakan bunga mawar warna-warni, ku jaga sepenuh hati, tak ku biarkan dia layu, seperti memelihara cintaku.
Sampai di rumah, aku merangkainya hingga berkeringat, aku carikan bunga pelengkap di halaman rumah nenek. Aku padukan menjadi sebuah rangkaian bunga. Mempesona orang yang melihatnya. Tapi sayang, setelah aku berikan pada pujaan hati, dia tak mau menerimanya. Hancur hatiku dibuatnya.
Hingga malam, aku berpikir keras bagaimana caranya membenci dia. Memikirkan itu, hatiku seperti tersayat pisau belati, darah seakan berhenti mengalir, aku tak rela membenci dia yang aku sayang. Tak terasa air mataku meleleh. Aku takut kehilangan dia..
Dua tahun lebih bukanlah waktu yang singkat. Selama itu aku mendedikasikan cintaku hanya untuk dia seorang meski cintaku disia-siakan. Seakan aku terkena guna-guna, aku tak pernah bisa melupakan dia. Kenapa aku mencintainya sedalam ini? aku telah berulang kali diremehkan, tapi kenapa aku tak bisa membencinya?
..Mungkin ini takdirku tak bisa bersamamu. Akan ku coba bertahan meski perih ku rasa, tulus hatiku tak berbalas. Jalan kita telah berbeda, semua telah menjadi nyata. Ku pasrahkan semua agar engkau bahagia..
Setelah pemberianku dikembalikan, ketemu ayahnya beberapa kali, aku disapanya, tapi aku pura-pura tak mendengarnya, kadang aku pura-pura tak melihatnya. Sebenarnya aku sedih berbuat seperti itu. Ayahnya yang selalu ramah padaku, dimana pun bertemu selalu disapanya. Tapi kali ini aku tak merespon keramahannya. Aku melakukan itu, biar mereka tahu bagaimana sikap anaknya padaku. Biar mereka bertanya-tanya atas sikapku yang berubah drastis. Aku akan terus lakukan ini hingga suatu saat masalah ini menjadi besar. Biar sang pujaan hati sadar, betapa kecewanya diriku.
Aku juga pura-pura benci pada dia. Kemarin bertemu dia di jalan, aku langsung berludah, dan dia melihatnya. Sebenarnya, setiap bertemu dia, jantungku masih berdebar-debar.
Melodi lawas itu cukup untuk melukiskan jeritan hatiku, sengsara dalam derita, kecewa karena cinta. Tak seindah yang aku bayangkan, cintaku disia-siakan, pemberianku diremehkan.
Pulang membawa rindu, ingin bertemu pada dia yang selalu membuatku sendu mendayu. Aku bawakan bunga mawar warna-warni, ku jaga sepenuh hati, tak ku biarkan dia layu, seperti memelihara cintaku.
Sampai di rumah, aku merangkainya hingga berkeringat, aku carikan bunga pelengkap di halaman rumah nenek. Aku padukan menjadi sebuah rangkaian bunga. Mempesona orang yang melihatnya. Tapi sayang, setelah aku berikan pada pujaan hati, dia tak mau menerimanya. Hancur hatiku dibuatnya.
Hingga malam, aku berpikir keras bagaimana caranya membenci dia. Memikirkan itu, hatiku seperti tersayat pisau belati, darah seakan berhenti mengalir, aku tak rela membenci dia yang aku sayang. Tak terasa air mataku meleleh. Aku takut kehilangan dia..
Dua tahun lebih bukanlah waktu yang singkat. Selama itu aku mendedikasikan cintaku hanya untuk dia seorang meski cintaku disia-siakan. Seakan aku terkena guna-guna, aku tak pernah bisa melupakan dia. Kenapa aku mencintainya sedalam ini? aku telah berulang kali diremehkan, tapi kenapa aku tak bisa membencinya?
..Mungkin ini takdirku tak bisa bersamamu. Akan ku coba bertahan meski perih ku rasa, tulus hatiku tak berbalas. Jalan kita telah berbeda, semua telah menjadi nyata. Ku pasrahkan semua agar engkau bahagia..
Setelah pemberianku dikembalikan, ketemu ayahnya beberapa kali, aku disapanya, tapi aku pura-pura tak mendengarnya, kadang aku pura-pura tak melihatnya. Sebenarnya aku sedih berbuat seperti itu. Ayahnya yang selalu ramah padaku, dimana pun bertemu selalu disapanya. Tapi kali ini aku tak merespon keramahannya. Aku melakukan itu, biar mereka tahu bagaimana sikap anaknya padaku. Biar mereka bertanya-tanya atas sikapku yang berubah drastis. Aku akan terus lakukan ini hingga suatu saat masalah ini menjadi besar. Biar sang pujaan hati sadar, betapa kecewanya diriku.
Aku juga pura-pura benci pada dia. Kemarin bertemu dia di jalan, aku langsung berludah, dan dia melihatnya. Sebenarnya, setiap bertemu dia, jantungku masih berdebar-debar.
Kemarin sore ingin balik ke Denpasar, berat rasanya pergi, masih ingin melihat wajah manisnya. Aku berkendara melewati rumahnya, ingin sekali melihat dia tersenyum, tapi aku tak melihat dia. Aku pun batal balik ke Denpasar.
Tadi pagi, aku masih berharap bisa melihat dia sekali lagi saat dia mau sekolah, menunggunya hingga dia lewat, ingin melepas rindu yang tersisa. Aku pun melihat dia dari seberang, aku memandangnya dari jauh. Dan ketika dia melihatku, di saat itulah aku berludah. Seolah-olah aku benci pada dia. Padahal aku merindukannya dan selalu ingin memandang wajahnya.
… aku memang belum beruntung untuk menjatuhkan hatimu. Aku masih belum beruntung, namun tinggi harapanku tuk hidup berdua denganmu. Aku sempurna denganmu, ku ingin habiskan sisa umurku. Tuhan, jadikanlah dia jodohku. Hanya dia yang membuat aku terpukau.
Sore menjelang malam, in de kos, merenung seorang diri, bertanya pada kegelapan malam, kenapa aku dibuat begini oleh seorang gadis 17 tahun? sejak dia brumur 15 tahun aku selalu dibuatnya merana.
Melepas penat, merenung sambil merebahkan kepala di atas bantal, menatap langit-langit. Mencoba mengingat pesan dua orang omku kemarin siang, mereka tahu aku sedang mencintai gadis itu. Om itu memberi pesan agar aku tak mencintai abg lagi. Lebih baik memilih gadis yang lebih dewasa dan berpendidikan. Apa yang bisa diharapkan dari seorang gadis yang masih muda? itu pertanyaan yang membuatku diam. Mungkin benar nasehat mereka, dan aku akan mencoba belajar mencari yang lebih dewasa.
0 Komentar untuk "Pura-pura Benci"