Riak-riak ombak danau Batur terdengar mengalun bak musik. Menghibur
Ikan, meninabobokan mahkluk air sedang asik bercengkrama didalamnya,
tak terkecuali aku dan Lilawati. Riak ombak seakan-akan menjadi musik
alam menghibur dua insan sedang memadu kasih. Tidur-tiduran, bermesraan
di atas bebatuan di tepi danau.
“Kak.. ”
“Kenapa sayang..?”
“Bolehkah aku meminta sesuatu?”
“Tak ada seorangpun boleh menolak permintan seseorang. Terlebih orang yang dicintai, seperti kamu sayang..” jawabku menggombal.
Desiran angin menerpa tubuh kami, sejuk merasuk sumsum tulang. Cukup membuat hangatnya percintaan diantara dua insan di kolong langit. Alam selalu menemani orang – orang sedang memadu kasih. Alam pula menjadi saksi atas semua apa yang dilakukan. Aku menatap indah wajah kekasihku sembari memegang jemarinya.
“Mau minta apa sayang..? Meminta Rembulan ataukah Matahari?”
“Memang bisa kakak memberi aku Rembulan dan Matahari?” Tanya Lilawati, terbangun dari perbaringannya.
“Why not? Bulan belum ada yang memiliki, terlebih Matahari” ujarku, memeluk pinggang Lilawati.
“Aku dengar bulan sudah ada yang meng-hakpatenka
“Kak.. ”
“Kenapa sayang..?”
“Bolehkah aku meminta sesuatu?”
“Tak ada seorangpun boleh menolak permintan seseorang. Terlebih orang yang dicintai, seperti kamu sayang..” jawabku menggombal.
Desiran angin menerpa tubuh kami, sejuk merasuk sumsum tulang. Cukup membuat hangatnya percintaan diantara dua insan di kolong langit. Alam selalu menemani orang – orang sedang memadu kasih. Alam pula menjadi saksi atas semua apa yang dilakukan. Aku menatap indah wajah kekasihku sembari memegang jemarinya.
“Mau minta apa sayang..? Meminta Rembulan ataukah Matahari?”
“Memang bisa kakak memberi aku Rembulan dan Matahari?” Tanya Lilawati, terbangun dari perbaringannya.
“Why not? Bulan belum ada yang memiliki, terlebih Matahari” ujarku, memeluk pinggang Lilawati.
“Aku dengar bulan sudah ada yang meng-hakpatenka
“Hihi.. dedek tahu aja”
“Sampai saat ini Matahari belum berhasil dihak-patenkan”
“Permintaanku tak setinggi itu kak.. Aku hanya ingin…” Lilawati tak melanjutkan kata-katanya. Ia memelukku erat. Kepalanya disandarkan pada bahu kananku. Sentuhan hangatnya membuatku terasa diawang-awang. Nafsu bergejolak, jantung bermain musik ala dangdut, “Jedag’’ jedug’’ jedag’, jedug’. Listrik telah di turn of agar musik tiada lagi menyala, aku kendalikan nafsu birahi dengan membayangkan yang aku peluk adalah tengkorak hidup. Iihh serem!
“Kakk..” suara Lilawati mendayu, hembusan nafasnya menggoda.
Lama aku tak menjawab, aku masih terbayang-bayan
“Kakakkkkkkkk…”
“Kenapaa..??”
“Agar kakak tahu.. “ suaranya terpotong. Kembali memelukku erat menyandarkan kepalanya di bahu kananku. Aku memeluknya mesra. Membelai rambutnya yang hitam berkilau panjang sepinggang.
“Aku tak mau kehilangan kakak” lanjutnya.
Love in memory.
0 Komentar untuk "Takut Kehilangan"