Beberapa waktu lalu sempat mampir ke TKP, tempat kejadian perkara pembunuhan Angeline
yang malang. Cukup membuat jalan Sedap malam macet saking ramainya orang
mendatangi tempat itu. Tempatnya tak jauh dari Indekosku, kurang dari
1 km. Menurut hemat saya, Engeline mungkin memang sudah ditakdirkan
untuk meninggal, entah karena karma apa hingga mengalami pembunuhan
sadis seperti itu. Anggapan itu tak terlepas dari kejadian berdekatan
dengan hilangnya Engeline.
Waktu itu, saya bergadang membuat tugas kampus sampai jam 2 malam. Lolongan anjing cukup membuat bulu kudukku bangun, bahkan timbul rasa takut. Setelah malam itu, tak ada kabar orang meninggal di sekitar Kesiman. Tapi yang ada hilangnya Engeline.
Jadi kesimpulan sederhananya bahwa Angeline memang sudah ditakdirkan untuk mati. Untuk itu, kiranya tak perlu ditangisi atau pun bersedih karena terbunuhnya Angeline. Dengan kata lain, kita tak perlu berlebihan bersimpati pada orang yang sudah tiada, sudah meninggal. Berempati sih sah-sah saja, asalkan diiringi dengan tindakan yang lebih mulia.
Banyak fakta yang kita lihat di masyarakat, orang sangat bersedih hati pada yang sudah mati, tetapi LUPA pada yang masih HIDUP. Maksudnya, kita akan merasa kehilangan seseorang ketika dia sudah meninggal, padahal semasa dia hidup, kita malah abai terhadap keberadaan mereka. Bahkan ada yang hingga menyakiti mereka.
Di negara kita masih banyak anak-anak yang tidak mendapat perhatian dari masayarakat dan negara, mereka hidup terlantar, tetapi adakah yang peduli? seperti peduli terhadap yang sudah mati? [contohnya seperti Angeline].
Begitu pula kita sering melawan orang tua, suka menentang ibu-bapak. Sering menyakiti adik-adik, anak-anak, dan lain sebagainya. Sederhananya, kita abai dan tidak peduli terhadap mereka yang masih hidup. Ketika mereka sudah tiada atau meninggalkan kita baru kita tersadar akan keberadaan mereka.
Pertanyaannya, untuk apa kita bersimpati berlebihan pada yang sudah mati? sedangkan yang hidup saja masih kita tak pedulikan. Sudahkah kita peduli pada mereka yang masih hidup? Pertanyaannya saya sederhanakan: Layakah kita bersempati pada yang sudah mati sedangkan kita tidak peduli pada yang hidup?
Waktu itu, saya bergadang membuat tugas kampus sampai jam 2 malam. Lolongan anjing cukup membuat bulu kudukku bangun, bahkan timbul rasa takut. Setelah malam itu, tak ada kabar orang meninggal di sekitar Kesiman. Tapi yang ada hilangnya Engeline.
Jadi kesimpulan sederhananya bahwa Angeline memang sudah ditakdirkan untuk mati. Untuk itu, kiranya tak perlu ditangisi atau pun bersedih karena terbunuhnya Angeline. Dengan kata lain, kita tak perlu berlebihan bersimpati pada orang yang sudah tiada, sudah meninggal. Berempati sih sah-sah saja, asalkan diiringi dengan tindakan yang lebih mulia.
Banyak fakta yang kita lihat di masyarakat, orang sangat bersedih hati pada yang sudah mati, tetapi LUPA pada yang masih HIDUP. Maksudnya, kita akan merasa kehilangan seseorang ketika dia sudah meninggal, padahal semasa dia hidup, kita malah abai terhadap keberadaan mereka. Bahkan ada yang hingga menyakiti mereka.
Di negara kita masih banyak anak-anak yang tidak mendapat perhatian dari masayarakat dan negara, mereka hidup terlantar, tetapi adakah yang peduli? seperti peduli terhadap yang sudah mati? [contohnya seperti Angeline].
Begitu pula kita sering melawan orang tua, suka menentang ibu-bapak. Sering menyakiti adik-adik, anak-anak, dan lain sebagainya. Sederhananya, kita abai dan tidak peduli terhadap mereka yang masih hidup. Ketika mereka sudah tiada atau meninggalkan kita baru kita tersadar akan keberadaan mereka.
Pertanyaannya, untuk apa kita bersimpati berlebihan pada yang sudah mati? sedangkan yang hidup saja masih kita tak pedulikan. Sudahkah kita peduli pada mereka yang masih hidup? Pertanyaannya saya sederhanakan: Layakah kita bersempati pada yang sudah mati sedangkan kita tidak peduli pada yang hidup?
Labels:
catatan harian
Thanks for reading Sebuah Ironi Bersimpati Pada yang Sudah Mati [Kaus Engeline]. Please share...!
3 Komentar untuk "Sebuah Ironi Bersimpati Pada yang Sudah Mati [Kaus Engeline]"
Tak perlulah diberikan batasan berlebihan itu seperti apa. Nyatanya orang lebih peduli pada yang sudah mati daripada yang masih hidup yang dalam keadaan hidup miskin, seperti pengemis, gelandangan, anak jalanan, dsb.
tertarik dg posting anda ttg agama shg sy menyempatkan diri mampir ke blog anda..tergelitik jg membaca tulisan anda ttg 'simpati' berlebihan thd org yg sudah mati..Sy tdk menentang pendapat anda,feel free to express,cuma sy ingin tahu batasan berlebihan yg anda maksud spt apa? artinya anda menyatakan itu berlebihan berarti batas atas n bawah nya sebagai tolok ukur seharusnya ada..Qt kembalikan ke diri qt,apabila qt ditinggal mati oleh org yg qt sayangi,kmd qt bersedih,apa itu jg berlebihan? sy kira itu hanya respon emosional yg melibatkan rasa..Anda menilai simpati thd angeline mungkin krn bnyk yg mengucapkan bela sungkawa..artinya klo dirinci org per org,mungkin jd biasa aja spt qt berucap bela sungkawa thd teman yg kehilangan...lalu jk org yg anda anggap simpati berlebihan tsb tnyt jg peduli thd org yg msh hidup,apakah msh pantas mrk disebut berlebihan? suksma