“Stooppp..” teriaknya sambil
menghalangi motorku. Sempat kaget juga diperlakukan seperti itu sama cewek
kelas 3 SMP.
“How are you, kakak?”
“Biasa aja, hanya isi kantong
yang berbeda. Ngapain kamu ada disini?”
“Sudah pindah kesini sebulan
yang lalu. Kakak sombong sekarang ya.. ”
“Biasa aja keless!”
Aku memang cuek sama dia, tak
mau bila suatu saat nanti dia jatuh cinta pada orang yang salah. Mencegah itu
lebih baik dan tak mau mempermainkan perasaannya, lebih baik menolaknya secara
halus.
Setelah berlalu, aku mengelus
dada. Cuma ingin ingin tahu kabar akan tetapi main cegat di jalan, kalau
tertabrak gimana? Sempat dilihat sama teman sekolah, kakak kelas dulu, sudah
menikah. Dia hanya tersenyum melihatku ngobrol sama anak SMP. Malu juga,
makanya aku tak lama meladeni obrolan cewek muda belia, selain itu karena bukan
seleraku.
Masih mendingan kalau digodain
cewek SMP, bagaimana kalau digodain cewek kelas 9? [angkanya diputar,]
garuk-garuk kepala. Rada-rada nyeleneh, aneh!
‘Weekk..’ gadis mungil itu
menjulurkan lidahnya, bermaksud meledekku. Di gang sempit dekat tempatku kerja,
anak ini sering bulak-balik sama temannya hanya untuk meledek aku. Kalau gak
menjulurkan lidah, dia mengepalkan tangannya, mau ninju aku. Kadang aku ladeni
juga ledekkannya dengan memberikan ciuman angin. Muacchh.. langsung deh
ditiupkan ke arahnya melalui telapak tanganku.
Setiap dia lewat, saat mau
sekolah atau pun mau ngaji, dia pasti menoleh ke tempatku kerja. Ketika mata
saling bertemu, senyumnya tak mampu ia tahan. Senyum manisnya mampu menggodaku.
Berminggu-minggu terus saja begitu, tak ada bosan-bosannya itu cewek. Seakan
aku seperti magnet baginya, memaksanya untuk selalu menoleh ke arahku.
Kalau aku mencintai seorang
cewek, juga bersikap seperti itu. Jika lewat di rumah cewek yang dicintai,
bawaannya ingin menoleh, pokoknya ingin melihat wajahnya. Bahkan meski berusaha
untuk tidak menolehnya, seakan-akan seperti sebuah magnet yang memaksa kepala
ini untuk mengikuti medan magnet lainnya, itulah kekuatan cinta, mampu
menggerakkan tubuh ini. Aneh memang. Tapi apakah gadis kecil itu mencintaiku?
biarlah hanya dia yang tahu rahasia itu, tak ingin ku mencari tahu yang
sebenarnya.
Nama gadis itu Nur Indah,
sedangkan temannya yang lebih kecil Marsya. Nur Indah lebih cantik, tubuhnya
bongsor. Sepertinya cewek ini dewasa tidak pada waktunya. Menurut temenku,
sebelum kehadiranku, dia tak begitu peduli dengan penampilannya. Tapi kini,
penampilannya seperti remaja yang sudah mulai menginjak dewasa, pakaiannya
selalu bersih, rapi. Apalagi kalau pakai jilbab, anggun banget, so imut and so
sweet.
Pernah aku diberi setangkai
bunga mawar, dititip sama temannya yang cowok, masih kelas 4. Katanya bunga itu
untukku, sudah dicium, dan aku diminta untuk mencium bunga itu. Gila ini anak,
pikirku. Bikin geleng-geleng kepala.
‘Bli suka ya sama Indah? pasti
pacaran ya!’ seloroh temannya itu, agak gendut. Aku tak mau menjawab pertanyaan
anak kecil itu, cuma tersenyum geli, juga ada rasa malu ditanya seperti itu.
Ternyata sikap diamku dianggap
sebuah jawaban. Besoknya, pagi-pagi aku melihat tulisan di tembok gang sempit
itu, ‘Andika Love Indah’. Tentu aku takut, aku menyiram tulisan kapur itu pakai
air. Tapi besoknya muncul lagi dengan tulisan tinta hitam. Aku biarkan saja,
toh tak ada yang tahu siapa itu ‘Andika’, karena itu nama samaranku yang tak
ada yang tahu selain aku dan anak-anak ingusan itu. Beruntung waktu dia nanya
namaku pakai nama samaran.
Seiring perjalanan waktu, jika
aku yang datang, dia seperti orang mau histeris, antara takut dan bahagia.
Jinak-jinak merpati, jika jauh mendekat, bila didekati, dia menjauh. Kadang
bikin jengkel, sehingga aku sering lempar dia pakai oasis atau kadang dilempar
pakai bunga mawar yang sudah rusak, begitu juga dia dan temannya suka melempari
aku pakai ranting kayu.
Sering bercanda seperti itu,
membuatku kegenitan, keganjenan. Sore hari mau pulang kerja di gang sempit itu,
aku dikeroyok dilempar pakai patahan batang bunga kamboja, bajuku jadi kotor.
Kesel diperlakukan seperti itu, aku turun dari motor, ku kejar mereka. Aku hendak
menangkap tangan Nur Indah, tapi tanganku lewat ke payudaranya. Dia kaget, aku
diludahi, untung gak kena. Tapi mereka kompak menghujani aku dengan
ranting-ranting bunga kamboja. Mereka bersorak merasa menang. Aku pun pulang
tersenyum sendiri meski bajuku kotor.
Temenku yang biasanya ngledek
aku bercanda dengan cewek itu, dia terkagum melihat perubahan penampilan cewek
itu, semenjak ada aku. Kata temenku, kalau sudah dewasa, dia pasti akan menjadi
idaman banyak lelaki.
Temenku menerka-nerka,
jangan-jangan itu cewek bener-bener jatuh cinta sama aku. Dan kalau boleh
jujur, dalam hatiku pun tumbuh hal yang sama, cinta monyet bersemi kembali.
Tapi aku menepis semua perasaanku. Adalah kesalahan besar jika aku membiarkan
perasaan itu berkembang dan membiarkan cintanya. Yang salah siapa dalam keadaan
seperti itu? tentu aku bukan? anak semuda dia, mana dia tahu benar dan salah.
Yang harus bisa menempatkan diri tentu aku.
Hampir setiap sore, dua gadis
kecil itu, semakin berani menggodaku. Bulak-balik lewat sambil meledekku.
Kadang dia menyuntingkan bunga kamboja di telinganya, semakin cantik
kelihatannya. Saat mereka santai di gang sempit itu, aku pura-pura cuek, dan
tak meladeninya bercanda. Sepertinya mereka kesel padaku. Aku dikatakan begini,
begitu. Dibilang si ceking, karena kurus, lemot, pengecut. EGP! Emang gue
pikirin?
“Kalau suka bilang aja suka,
daripada mondar-mandir gak jelas, mendingan sini bantuin kakak..”
“Huuuu.. GR, sorry ya.. ihh
siapa yang suka ama ceking” kompak keduanya berseru.
“Kalau gak suka, ngapain
selalu mondar-mandir gitu, nglirik cowok dewasa lagi. Kamu itu masih kecil, gak
boleh pacaran, belajar sana!” selorohku. Mendengar kata-kataku yang agak keras,
wajahnya memerah, sepertinya malu.
“Ini kan jalan, siapa aja
boleh disini.. jangan GR ya”
Aku terus mencoba menyadarkan
gadis kecil itu. Di tempat kerja, aku sering bersembunyi di dalam, bosen juga
itu anak, setiap bulak-balik di gang itu gak ada aku, akhirnya menghilang juga
itu anak.
Sudah beberapa lama tak pernah
muncul, hari libur sekolahan ini, mereka sering muncul lagi. Sama seperti
biasanya, tapi kali ini penampilannya jauh lebih dewasa, benar-benar aku takjub
dibuatnya.
“Indah semakin cantik aja..
beneran deh. Aku kagum melihat kecantikanmu..” selorohku, pujian dari hati yang
tulus.
“Ihhh.. apaaann sih.. ”
balasnya. Dia tertawa simpul, kemudian lari mendengar pujianku. Kayaknya
mengena banget pujianku, soalnya memang datang dari hati. Ya begitulah, memuji
cewek memang harus datang dari hati, biar nusuk ke jantung.
Aku mencoba memikirkan
sikapku, perasaanku. ‘Apa-apan sih aku?’ hatiku sering protes pada diri
sendiri. Aku bukan lagi anak-anak, bukan lagi ABG, aku sudah dewasa. Sudah
seharusnya aku bisa memperlakukan gadis kecil seperti adikku, bukan sebagai
orang yang dicintai.
Ah, pusing aku. Dilemma..
antara cinta, suka, status. Hari-hariku selalu saja diusik dua gadis kecil itu,
tapi aku enjoy saja. Biarkan dia bosen sendiri asalkan aku tak melampui batas
sebagai orang dewasa.
Aku diminta untuk cuek sama
cewek itu, permintaan temenku yang sudah menikah, biar tak terlanjur. Siang
hari lagi istirahat, aku godain mereka. Sudah dari pagi mondar-mandir gak
jelas, hanya untuk meledekku. Kasihan juga.
“Indah mau gak jadi pacar
kakak?”
“Ihh.. maaf ya. Kan sudah ada
marsya”
Sepertinya Indah cemburu,
karena aku kadang juga menggoda Marsya, sengaja aku seperti itu agar mereka
sakit hati, biar benci.
“Gak mau nih.. kalau begitu,
sama Marsya aja”
“Aku juga gak mau.. mbak Indah
di mulut aja bilang gak mau, padahal dalam hati ‘Ya’” seloroh Marsya. Marsya
dijambak deh sama Indah. Aku tertawa berhasil membuat mereka bertengkar. Tapi
bercanda sih, tak sampai cakar-cakaran.
“Ehh jangan berantem. Kakak
itu sudah punya istri tahuuu.. ntar bilangin loh sama istriku, biar dicari
kesini”
Mendengar kata-kataku, mereka
kaget bukan main. Mereka langsung nyroscos bilang kalau dia itu tak suka sama
aku, tapi suka sama temenku. Aku bilang, kalau temenku itu sudah punya anak.
Tambah kaget, wajahnya seakan mau menangis. Mereka langsung kabur. Waktu mau
pulang kerja, Indah terlihat murung, kayak lagi bersedih. Tak tega juga
melihatnya, tapi biarkan saja, biar mereka kapok. Aku juga gak enak, masak aku
digodain ABG bau kencur.
Dua hari mereka tak muncul,
tapi yang lebih kecil, Marsya datang lagi mondar-mandir. “Kamu dibohongi sama
dia, dia belum punya istri, bahkan gak laku” ujar temenku, menunjuk ke arahku.
Gadis itu berlari tertawa senang, dan memanggil temannya, Nur Indah.
Kesel juga dibilang tak laku
karena belum punya istri. Sialan! biar tampang pas-pasan gini, masih laku di
berbagai kalangan, dari yang daun muda hingga dewasa, dari yang tak
berpendidikan hingga yang berpendidikan. Hanya saja, aku belum siap untuk
membina rumah tangga. Masih mikir-mikir, apalagi semakin banyak melihat
fenomena orang yang menikah grasa-grusu, ujung-ujungnya cerai.
0 Komentar untuk "Cinta Monyet Bersemi Kembali"