"Mungkin para terorist adalah orang - orang yang tidak
merasakan kasih sayang, mereka hanya dididik dengan ajaran agama yang tekstual dan
pada akhirnya mereka tumbuh dengan kehilangan cinta kasih dan kedamaian hati
kemudian tumbuh bibit kebencian seiring dengan kegagalan menghadapi kehidupan,
menjadikan mereka mencari pembenaran atas kebencian mereka terhadap hidup dan
kehidupan dengan menggunakan agama dan atas nama Tuhan dan ini selalu bisa terjadi
pada kelompok mayoritas. Upaya orang tua untuk mendidik anaknya dengan
menyekolahkan dan mengasramakan mereka di sekolah yang menjadikan agama sebagai
pedoman hidup. Mereka sedini mungkin (disaat mereka belum cukup siap terutama
bekal kasih sayang, cinta kasih dan rasa saling menghormati) bisa jadi menjadi
salah satu faktor tumbuhnya kelompok ini (radikalisme). Pola ini muncul setahap
demi setahap dan turun temurun dari satu generasi ke generasi, jadi pada
dasarnya meskipun mengklaim tidak mendidik anak menjadi teroris, tetapi paham
yang diberikan sedikit tidaknya telah
mempengaruhi pemikiran ke arah itu, dari yang tadinya tidak mengenal kelompok
lain kemudian diperkenalkan dengan dengan tidak sesuai porsinya. Generasi selanjutnya
menjadi tidak suka dengan kelompok atau keyakinan diluar keyakinan mereka. Dari
generasi pengikutnya timbullah bibit kebencian dan menjadi sumber konflik yang
komplit manakala mendapati problematika kehidupan dan kegagalan menjalankan
hidup dan pada akhirnya mereka berusaha menjadikan hidup mereka lebih berarti
dengan kepahlawanan yang salah kaprah, mati syahid yang tidak syahid".
Renungan
Ardania seorang wanita modern.
Kejahatan di muka bumi selalu hidup berdampingan dengan
kebaikan. Telah berbagai daya upaya dilakukan oleh berbagai pihak untuk
mengurangi kejahatan namun justru kejahatan di muka bumi dari jaman ke jaman
semakin menjadi-jadi dan modus operasinya semakin canggih seiring dengan
kecanggihan teknologi dan informasi.
Didalam ajaran agama dikatakan bahwa pada mulanya pada jaman
satya / Satya Yuga dahulu sifat-sifat
kebaikan yang lebih dominan namun sebaliknya pada jaman kali / Kali Yuga sifat – sifat jahatlah yang
dominan , dikatakan pula bahwa pada jaman kali dharma hanya berkaki satu .
Salah satu dari berbagai kejahatan canggih pada jaman post modern adalah adanya pelaku aksi
terror atau lebih dikenal dengan terrorist.
Lucunya , aksi – aksi terrorist di Indonesia berlatar belakang agama, kelompok
tertentu ini berasal dari agama tertentu pula.
Ada yang berpendapat bahwa didalam penganut agama apapun ada
terorist, bahkan teroris paling berbahaya ada pada diri sendiri. Pernyatan
tersebut benar adanya tetapi perlu digarisbawahi bahwa hanya yang berasal dari
golongan agama tertentu yang melakukan aksi terror atas nama agama, bahkan
lebih parah atas nama Tuhan. Didalam agama lain memang tidak bisa dipungkiri
banyak pula oknum-oknum radikal tetapi mereka melakukan hal tersebut bukan atas
nama agama apalagi atas nama Tuhan. Itulah perbedaan diantara terror yang berasal
dari golongan agama yang menjadi terrorist.
Selain itu ada juga yang mengungkapkan bahwa pada dasarnya
semua timbul dari pikiran . Semua agama tanpa kecuali pada dasarnya mengajarkan
kebaikan. Manusia pada saat lahir semua kondisinya sama seperti tong kosong.
Begitu tumbuh menjadi dewasa mulai di isi yang negatif dan positif . Tanpa
disadari kita menjalani apa yang ada di pikiran , menjadi kebiasaan , menjadi
prilaku , ingin menjadi teroris, malaikat kita bisa. Setiap orang mempunyai
bakat menjadi orang baik dan jahat hal ini tergantung pada pikiran, jadi lebih
baik intropeksi ke dalam diri .
Mengutip pernyataan rohaniawan Hindu, Bhagawan Dwija
menyatakan bahwa terorisme di Indonesia berkembang meniru apa yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok radikal garis keras di luar negeri, khususnya di
Negara-Negara Timur Tengah dan Asia lainnya. Ini merupakan pengaruh negatif
globalisasi, dunia tanpa batas. Terorisme bukan budaya bangsa Indonesia.
Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang
mengancam kedaulatan setiap negara. Negara wajib melindungi masyarakat dari
ancaman tindak pidana terorisme dan aktifitas yang mendukung terorisme (Yunus
Husein,211 : www.prasetya.ub.ac.id ). elemen masyarakat perlu dilibatkan dalam
mengantisipasi eksistensi para teroris yang berpotensi menebar ancaman. Seperti
tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda dan sebagainya. Peran serta
masyarakat sangat penting adanya.
Untuk mencegah tindak pidana teroris, Indonesia telah
memiliki perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang. Meski telah dilakukan berbagai
upaya untuk memberantas tindak pidana teroris namun tampaknya belum berjalan
seperti yang diharapkan.
Tampaknya aksi radikalisme yang berlatar belakang agama
bermula dari akibat belajar agama yang belebihan dan memahami agama secara
tekstual . menurut Katrokelana (2012, www.kompasiana.com) menyatakan bahwa orang yang mendalami agama (secara
berlebihan) itu hanya ada tiga kemungkinan yang terjadi , yaitu menjadi
teroris, gila, atau murtad. Amrozi dkk mendalami agama secara serius jadilah
teroris. Mark Gabriel mendalami agama secara serius jadilah murtad. Katro mendalami
agama menjadi gila di antara orang gila.
Akibat dari mendalami agama secara serius dan keliru
akibatnya terorisme tumbuh subur dan beranak pinak yang pada akhirnya mereka
membangun jaringan terorisme atau membentuk kelompok – kelompok radikal dan
yang lebih parah mereka hendak mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) serta
ingin menghapuskan pancasila dari nusantara.
Seperti diketahui, jaringan terorisme di Indonesia berjalan
secara sistematis dan massif. Jaringan ini diduga kuat memiliki kedekatan
dengan Jamaah Islamiyah (JI) dan Al-Qaeda. Serentetan tragedi pengeboman
disertai bunuh diri yang berlangsung di Indonesia mulai dari Bom Bali (12
Oktober 2002), Hotel JW Marriot, JaÂkarta (5 Agustus 2003), bom di Kedubes
Australia dan seÂterusnya, membuktikan mereka cukup rapih, cerdas, canggih,
dan lihai dalam melancarkan aksinya.
Ahmad Hasan MS ( 2010, www.indonesiamedia.com) mengatakan
bahwa gerakan terorisme yang didengang-dengungkan oleh kelompok JI (Jamaah
Islamyah) tidak lepas dari ideology fundamentalisme yang cenderung radikal dan
bercita-cita mendirikan negara Islam. Mereka tidak puas dengan sistem demokrasi
saat ini yang dinilai sekuler dan liberal. Mereka membenci “antek-antek” AS,
yakni Indonesia, yang dinilai telah masuk lembah kapitalisme dan liberalisme.
Lebih jauh ia juga menyatakan bahwa fundamentalisme
merupakan sebuah tantangan bagi bangsa Indonesia. Gerakan terorisme berbasis
fundamentalisme ini tidak bisa dilenyapkan begitu saja. Kepolisian atau Tim
Densus 88 bisa saja menangkap dan menyisir pelaku terror, akan tetapi akar
masalah tersebut tetap menjadi pekerjaan rumah (PR) yang wajib diselesaikan
bersama. Itulah sebabnya, fundamentalisme harus diputus. Pendekatan inklusivis,
kemanusiaan, dan paham multikulturalisme layak disemaikan. Pemerintah juga
harus berevaluasi untuk berpihak pada civil society yang berkeadilan dan
berkeadaban.
Pelaku terror yang berlatar belakang agama disadari atau
tidak ternyata berpijak pada Al-Qur’an. Noor Rosyidah (2008) dalam e-book yang
berjudul “Fundamentalisme Agama Dalam Al-Quran (Tafsir Tematik Atas
Ayat-Ayat Kekerasan Berbasis Agama)” menyatakan bahwa Al-Qur’an seringkali
dijadikan pijakan bagi tindak kekerasan dan terorisme atas nama agama dan
fenomena fundamentalisme Islam. Hal ini karena memang secara lahiriah dalam
al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang provokatif-agitatif bagi perilaku kekerasan
dan terorisme berbaju agama.
Dalam mencegah aksi-aksi terror banyak yang berpendapat
bahwa masyarakat kembali pada Pancasila namun berdasarkan hasil survey “Pelajar menganggap Pancasila tak lagi
relevan”. Survei yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP)
selama Oktober 2010-Januari 2011 menemukan fenomena yang mencengangkan,
diantaranya (yusro m. santoso , 2011 : www.politikana.com ): Siswa: 25,8 persen
dan Guru: 21,1 persen mengatakan pancasila sudah tidak relevan. Siswa: 84,8
persen, Guru: 76,2 persen Setuju jika syariat Islam diberlakukan. Terkait
dengan agama dan moral, 48,9 persen
siswa menyatakan bersedia terlibat dalam aksi kekerasan. Yang paling
mengagetkan, belasan siswa menyetujui
aksi ekstrem bom bunuh diri. Siswa: 14,2 persen, Guru: 7,5 persen
membenarkan aksi pengeboman seperti yang dilakukan Imam Samudra, Amrozi, dan
Noor Din M. Top.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
terpercaya, maka didapati kecenderungan masyarakat untuk melakukan kekerasan
atas nama agama: 61,4% setuju untuk
memerangi orang non muslim, 49% setuju membela perang dengan non muslim, 20% setuju dengan bom Bali, 18% setuju
perusakan gereja, 37,2% setuju larangan mengucapkan selamat hari natal. Survey
LSI (Juni 2006). Berdasarkan Survey PPIM ( Mei 2006): 14,7% bersedia merusak
gereja, 43,5% perang tehadap non muslim yang mengancam, 24% bersedia bentrok dengan polisi untuk menegakkan agama.
Hasil survey tersebut sebenarnya tidaklah mengherankan
karena pendapat mereka memiliki landasan, dimana hal ini ada kesesuaian dengan
ayat-ayat kekerasan dalam kitab suci, seperti misalnya pada ayat dibawah ini :
“Apabila sudah habis
bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu
jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat
pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat,
maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi maha Penyayang. (Qs. 9:5 Surat At-Taubah ).
“Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian
dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah Dan Rasul-Nya dan
tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang
diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh
sedang mereka dalam keadaan tunduk.” – (QS.9:29)
“Berangkatlah kamu,
baik dalam keadaan ringan ataupun merasa berat, dan dan berjihadlah dengan
harta dan jiwa, pada jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui.” – (QS.9:41)
Indonesia merupakan negara yang paling banyak menangkap
pelaku terorisme dibandingkan dengan yang negara lainnya. Tetapi karena
tindakan terorisme yang terjadi di Indonesia tersebut menyangkut pemahaman atau
ideology, maka sangat sulit untuk memberantas ideology. Menurut mantan wakil
Presiden RI, Jusuf Kalla mengatakan bahwa solusi untuk mengatasi terorisme
adalah dengan ideologi. Adanya pemikiran bahwa dengan membunuh akan masuk surga
harus diluruskan. JK sebenarnya setuju orang-orang yang diduga teroris itu
ditangkap dan ditembak. Namun sebelum itu dilakukan, metkinya pemerintah
melakukan pendekatan-pendekatan terlebih dulu. “Kenali apa alasan dan
penyebabnya (teroris), kenali mereka siapa dan akar masalahnya, ajak berdialog
dulu dengan pendekatan-pendekatan, tapi tegas. Kalau ada yang melawan, tangkap
dan tembak saja,” kata JK (detik.com 2011).
Meskipun penembakan terhadap tersangka terrorist dibenarkan
menurut hukum apabila dalam keadaan darurat namun penembakan terhadap tersangka
terrorist hingga tewas ternyata tersangka terorist yang tewas dianggap mati syahid. Seperti berita yang dimuat di
situs voa-islam terkait penembakan terhadap tersangka teroris solo yang
ditembak mati pada Jum’at (31/8/2012) lalu yang menyebabkan 2 orang pemuda
gugur. Kedua pemuda itu diketahui bernama Muchsin dan Farhan. Farhan adalah
anak tiri ustadz Abdullah Umar.
Ustadz Abdullah Umar bersyukur anak tirinya, Farhan Mujahid
telah syahid. “Alhamdulillah,
kami sekeluarga sangat bergembira karena kami baru saja menikahkan anak kami
(dengan bidadari, red.) dan kami sekeluarga insya Allah memiliki kesempatan
untuk mendapatkan syafa’at dari keluarga kami yang syahid,” demikian ungkap
ustadz Abdullah Umar, seperti dilansir voa-islam.com .
Bagaimana mungkin terrorist bisa dilenyapkan dari muka bumi
apabila masyarakat masih percaya dengan idiologi seperti itu ?. Menurut Denny Krisna Dipayana
“musnahkan umat islam di indonesia baru teroris hilang”. Entah itu pernyataan
guyonan atau datang dari sebuah kejujuran, namun yang terpenting menarik untuk
disimak dan direnungkan.
Saya berpandangan bahwa adalah keliru dan mustahil serta
aneh bin lucu apabila untuk melenyapkan terrorist di muka bumi dengan
memusnahkan umat Islam. Kalau boleh berpikir ekstream yang dijauhkan dari masyarakat adalah ayat-ayat kekerasan
dalam kitab suci artinya ayat-ayat kekerasan tersebut tidak perlu diajarkan
kepada generasi muda maupun masyarakat.
Setahu saya didalam perkembangan Hindu pernah ada
penghilangan sloka atau ayat didalam kitab suci untuk menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan. Didalam kitab suci Manu
Smerti terdapat beberapa sloka yang dihilangkan (sekitar 2 sloka yang
dihilangkan dari 2.685 jumlah sloka manu smerti) yaitu mengenai ritual Sati, “Sati
adalah perbuatan yang sangat menghebohkan (horrendous act) mengenai bunuh diri
dari para janda dengan melompat ke dalam api pembakaran jenasah suaminya,
kadang-kadang dengan sukarela, kadang-kadang dengan paksaan oleh orang lain”
(dikutip dari buku Am I A Hindu?). Pada jaman dahulu di Bali pernah ada
ritual seorang wanita janda yang menceburkan diri kedalam api pembakaran mayat
suaminya sebagai bukti kesetiannya, hal ini ternyata juga ada diantara suku Rajput di Baratlaut India serta
“sepengetahuan saya” juga didukung oleh kitab suci. Sehingga untuk
menghindari berlanjutnya tradisi tersebut maka dilaranglah ritual sati itu dan
ketika menerbitkan kitab Manawa Dharmasastra sloka yang membenarkan sati tidak dicantumkan didalam Manu Smerti (Manawa Dharmasastra). Namun belakangan pada terjemahan kitab Parasara Dharmasastra terdapat pula satu
sloka yang membenarkan sati tersebut
dan sloka tersebut dicantumkan dalam kitab Parasara
Dharmasastra. Hal itu bukan masalah lagi karena masyarakat sudah pada
cerdas yang menganggap ritual sati
itu tidak perlu dilakukan meski dalam pandangan agama dianggap benar untuk
mempertahankan kesetiaan terhadap suaminya.
Sati di Bali dihapuskan oleh Belanda, di India Sati dihapuskan oleh Inggris pada tahun 1829.
Didalam buku Am I A Hindu dinyatakan
bahwa Sati sama sekali tidak memiliki dasar dalam kitab suci Hindu.
Tidak ada kitab suci Hindu yang bicara bahkan sedikitpun mengenai Sati.
Mengatakan Sati adalah bagian dari
agama Hindu persis sama dengan mengatakan bahwa inquisisi (hukuman berdasarkan
pengadilan agama Kristen) berdarah yang dilakukan oleh orang-orang Spanyol atas
Mexico pada tahu 1483 dan perburuan penyihir di Salem pada tahun 1692 adalah
bagian tak terpisahkan dari agama Kristen. Penghancuran kuil-kuil bangsa Indian
Mayan dan pembunuhan jutaan orang Mexico oleh orang-orang Spanyol tidak ada
hubungannya dengan agama Kristen yang benar yang dikotbahkan oleh Jesus.
Perburuan penyihir Salem tidak ada kaitannya dengan agama Kristen yang
benar.Hal-hal tersebut jelas-jelas berlawanan dengan prinsip-prinsip Kristen.
Tampaknya hal ini pula dapat dilakukan terhadap ayat-ayat
kekerasan dalam kitab suci alquran (kalau mau), kalaupun itu tidak bisa
dilakukan paling tidak dilakukan penafsiran ulang atau reinterpretasi terhadap
ayat-ayat kekerasan tersebut , mengingat menurut Mujahidin Indonesia alquran
terjemahan DEPAG terdapat seribu kekeliruan.
Setidaknya kita menuruti nasehat mantan presiden Ri BJ
Habibie. Menurut BJ Habibie (2012, republika.co.id) beliau mengungkapkan bahwa
ulama dan pondok pesantren memiliki peran penting dalam pencegahan terorisme.
Pasalnya, di pesantren itulah ulama dapat membentuk sumber daya manusia yang
berpendidikan dan penuh cinta. Tak hanya itu, Habibie menilai, pencegahan
terorisme juga harus dilakukan dengan menerapkan bentuk pertahanan dan keamanan
yang canggih. Pasalnya, aksi terorisme saat ini juga sudah lebih luas seiring
dengan perkembangan teknologi, komunikasi dan transportasi. Untuk menangkal
terorisme yang lebih canggih seperti sekarang, dibutuhkan langkah yang lebih
strategis. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan kerja sama
internasional.
Catatan : Tulisan ini pernah
dimuat di kompasiana, oleh karena dianggap melanggar
ketentuan isi tulisan hingga menyebabkan ID www.kompasiana.com/mertamupu diblokir.
Labels:
Facebook,
Kompasiana
Thanks for reading Mencegah Terorist, Hilangkan Ayat - ayat Kekerasan Didalam Kitab Suci. Please share...!
2 Komentar untuk "Mencegah Terorist, Hilangkan Ayat - ayat Kekerasan Didalam Kitab Suci"
Ya Gambar ilustrasinya kurang pantas Mas, tapi tulisannya ok.
pantaslah, gambarnya saja membuat saya kaget, dan ada rasa marah juga dalam hati saya.